Saturday, July 4, 2015

SEBUAH SISI KEARIFAN LOKAL DI PADANG MANGATAS

Subuh telah beranjak pergi. Pagi menjelang. Kabut enggan bergerak dan memilih menyelimuti bukit yang terdiam kelu. Seakan nyenyak dalam tidur yang cukup panjang. Semalam gerimis menyirami Bukittinggi sampai larut. Beberapa pelancong ada yang tetap berjalan-jalan di pusat keramaian tanpa menghiraukan dinginnya malam Bukittinggi yang bertambah dengan hadirnya gerimis.


Udara dingin yang cukup menusuk ini membangunkan saya untuk melihat pagi di Bukittinggi lebih dekat. Meski sebenarnya lebih enak tarik selimut lagi selepas solat Subuh ini tapi saya tak mau melewatkan moment pagi hari di Bukittinggi.
Saya mulai dengan membuka tirai kamar. Seketika pemandangan yang cukup mempesona tepat berada di hadapan saya, dari balik kamar hotel tempat saya menginap. Tapi melihat dari balik kamar tak akan memuaskan. Saya beranjak keluar kamar menuju sebuah balkon yang mempunyai view ke seluruh penjuru Bukittinggi. Mulai dari pemadangan Gunung Marapi yang berjajar di antara bukit Barisan sampai landmark kota Bukittinggi  yang terlihat siluet dari balik sinar mentari pagi. Sebuah lukisan alam yang luar biasa indah.





Rasanya betah berlama-lama menikmati pemandangan yang disuguhkan pagi ini. Kamera HP saya terus membidik setiap sudut yang mempesona. Matahari terus beranjak. Terasa begitu cepat menikmati keindahan alam pagi ini.

Saya mulai bersiap dengan agenda hari ini. Pencarian taksi dari laman situs pencari bernama Google membuahkan hasil. Taksi yang saya dapat ternyata sudah cukup tua  tanpa AC dan argo. Tapi tidak masalah bagi saya karena udara di Bukitinggi bersahabat meski matahari tak tertutup awan. Terlebih lagi mendapati sopir yang ramah dan informatif.

Perjalanan kami mulai. Ada dua instansi yang akan kami kunjungi. Jaraknya cukup jauh dari kota Bukittinggi. Pemandangan sepanjang perjalanan tak menjemukan mata kami. Saya lebih memilih menikmati pemandangan sepanjang perjalanan ketimbang autis dengan smartphone saya. Kalau autis pun bikin HP cepat lowbat haha. Tujuan pertama telah terlewati kemudian berlanjut ke tujuan ke dua. Tujuan kami yang kedua adalah Padang mangatas yang letaknya lebih jauh lagi. Daerah ini tepatnya sudah masuk kabupaten lima puluh kota. 

Salah satu sudut rumah makan yang kami kunjungi di Padang Mangatas

Tak terasa siang telah beranjak dan perut mulai keroncongan. Kami mampir di sebuah rumah makan yang cukup nyaman. Rumah makan ini menyatu dengan rumah pemiliknya , meski rumah makan ini tak cukup besar tapi saya salut karena rumah makan ini tertib membayar pajak. Ada sebuah papan yang menunjukkan rumah makan ini telah membayar pajak. Awalnya rumah makan ini sepi lantas berdatangan pelanggan yang lain. Keramahan penduduk ini sangat bagus. Kami tidak saling kenal tapi mereka menyapa kami dan melemparkan senyum, menyampaikan sebuah kalimat "Mari makan Pak". Sebuah sikap yang memanusiakan kami. Sungguh jauh dari atmosfir perkotaan yang sibuk dengan dirinya masing-masing. Kearifan lokal penduduk setempat memberikan inspirasi bagi saya tentang adab bermasyarakat yang sesungguhnya.


Tujuan akhir kami di Padang Mangatas kembali di suguhi pemandangan yang mempesona. Hamparan padang rumput yang menghijau dan udara yang sejuk meski di atas bukit. Tenang dan mendamaikan. Di sinilah saatnya saya metertawakan hiruk pikuk kota Jakarta. Pengalaman ke Padang Mangatas kali ini cukup berkesan bukan hanya dari kondisi alamnya yang memukau tapi kearifan lokal yang masih bertahan dari gempuran modernisasi.

Komplek Balai Pembibitan Sapi Unggul milik Kementerian Pertanian

Padang rumput seluas 180 hektar sebagai ladang untuk peternakan sapi


Bukittinggi-PadangMangatas-Mei2015