Kembali pulang ke rumah. Alhamdulillah untuk sejenak dapat berkumpul dengan keluarga. Mumpung saya di rumah waktu itu Ibu meminta saya untuk mencari kembali buku-buku cetak yang saya gunakan untuk kuliah. Rupanya ada sodara yang hendak melanjutkan kuliah dengan ambil jurusan kimia seperti saya dulu. Saat membuka lemari dan memilah-milah tumpukan buku saya menemukan buku yang lain. Buku berwarna coklat bergambarkan abdi dalem kraton. Buku ini berjudul "Kabar dari luar pagar". Buku ini cukup berarti bagi saya karena tulisan saya masuk dalam buku tersebut. Buku ini adalah sebuah buku yang dihasilkan dari sebuah kontes menulis. Tepatnya adalah kontes menulis surat untuk Sri Sultan Hamengkubuwono ke X yang diadakan oleh sebuah perguruan tinggi negeri di Jogjakarta.
Saya kembali membuka-buka dan membaca isi buku tersebut. Sedikit tersenyum kecil ketika membaca tulisan saya sendiri. Baiklah berikut kutipannya saya tulis kembali maka perlu saya abadikan di blog jika buku tersebut hilang atau rusak.
Yogyakarta, 20 Januari 2003
Yth. Sri Sultan Hamengkubuwono X
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Assalamualaikum wr. wb
Nuwun sewu, perkenalkan nama saya Ali Muharam. Saya lahir di Yogyakarta, tepatnya di Wirobrajan. Sekarang umur saya 19 tahun. Sampai sekarang saya masih tinggal di kampung tersebut, jadi bisa dikatakan saya ini "wong Jogja Asli".
Saya sebagian dari masyarakat Yogya merasa terhormat bisa menulis surat ini sebagai media penyaluran
uneg-uneg saya mengenai keberadaan kota Yogya. Bapak sebagai gurbernur DIY sekaligus sebagai Raja Mataram (Kraton Yogyakarta), tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar. Bukan saja mengurusi masalah pemerintahan saja tetapi juga mengurusi aktivitas perkembangan kraton. Semoga dalam menjalankan tugas, Bapak selalu dikaruniai oleh Tuhan kesehatan jiwa raga.
Kalau boleh berpendapat saat ini Yogya telah berubah. Perubahan telah membawa Yogya menjadi kota yang majemuk. Kemajemukan ini membuat masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam menilai Yogya. Salah satu kemajemukan ini terletak pada budaya (culturetourism) yang menjadi salah satu basis industri kepariwisataan DIY. Banyak wisatawan mancanegara tertarik dengan kebudayaan Yogya dan tidak sedikit mempelajarinya. Bahkan ada turis yang mampu berbahasa Jawa. Nah, bagaimana dengan generasi muda kita sendiri? Sungguh ironis apabila kita sampai kalah dengan mereka.
Zaman semakin cepat berubah, era glonal memberikan sebuah etik baru yang menyebabkan masyarakat mudah bosan dan selalu menginginkan hal yang baru. Pengaruh-pengaruh budaya barat telah melekat pada generasi muda kita, termasuk saya. Fenomena tersebut menyebabkan generasi muda cenderung melupakan kebudayaan sendiri, sehingga ada budaya yang masih bertahan dan ada yang telah hilang. Salah satu contoh yang telah mengalami degradasi saat ini adalah penggunaan bahasa Jawa
ngoko (kasar), sedangkan bahasa Jawa
kromo inggil (halus), selain tidak mengerti juga tidak mau belajar. Pada gilirannya jika berhadapan dengan orang yang lebih tua mulut akan terasa "kaku", tidak tahu harus ngomong apa. Fenomena ini juga merupakan indikasi hilangnya etika,
unggah-ungguh, tata krama, dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Terus terang saja, saya yang notabene adalah orang Yogya belum spenuhnya mengenali budaya Yogya secara keseluruhan. Saya hanya tahu sebgian besarnya saja, seperti perayaan Sekaten, Grebeg, Bekakak, jamasan Pusaka, Labuhan di Pantai Parangtritis, dan lain-lain. Tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi pada orang lain.
Saya sebagai warga Yogya tentu mempunyai keinginan untuk mengenali labih jauh tentang budaya Yogya, lebih baik lagi jika terlibat di dalamnya. Oleh karena itu melalui surat ini saya ingin ikut
urun rembug agar bagimana caranya budaya Yogya lebih dikenal masyarakatnya sendiri. Walaupun sekarang Bapak sedang dipusingkan dengan maraknya aksi demontrasi mengenai kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, dan telepon.
Pengenalan budaya bisa lebih ditekankan kepada anak-anak remaja usia sekolah karena sebagian besar gaya hidup remaja sekarang sudah sangat terpengaruh budaya barat. Langkah pertama bisa dilakukan dengan pengadaan ekstrakulikuler yang berorientasi pada bidang kebudayaan pada setiap sekolah. Dalam pelajaran sejarah bisa diusahakan siswa diberikan tugas untuk membuat makalah atau sejenisnya yang isinya berhubungan dengan bentuk-bentuk kebudayaan Yogya, baik itu yang mengupas dari nilai historisnya maupun nilai sosialnya. Senada dengan hal itu, hal-hal yang sifatnya kompetitif bisa dilakukan secara rutin, seperti lomba karya tulis, cerdas cermat, lomba poster, dan lomba-lomba lain yang bertemakan kebudayaan Yogya.
Kita merupakan bagian dari masyarakat informasi, di mana saat ini informasi sangat mudah untuk didapatkan, contohnya melalui jaringan internet yang merupakan hasil teknologi
hibryda (teknologi gabungan) dalam era
knowledge society (era masyarakat pengetahuan). Dengan memanfaatkan teknologi tersebut, kita bisa melestarikan budaya dengan mudah. Kita dapat membuat website yang khusus mengupas habis keseluruhan budaya Yogya. Sehingga masyarakat Yogya akan lebih tertarik untuk mengenali kebudayaan Yogya dengan labih baik, dan diharapkan bisa ikut andil untuk bisa mewarisi bukan malah meninggalkannya. Bagaimanapun budaya adalah warisan nenek moyang yang harus dipertahankan.
Dengan mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa dijadikan sebagai pelajaran hidup. Implikasi dan konsekuensi logis positif dari nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya lambat laun akan membentuk jati diri dengan kepribadian yang mau tahu, bisa rumangsa, tepa selira, apresiatidf dan tahu malu.
Barangkali saja sekelumit saran di atas bisa dijakdikan bahan pertimbangan Bapak, bagaimana caranya agar budaya Yogya lebih memasyarakat. Saya merasa prihatin apabila apa yang saya sampaikan di atas ada yang tidak berkenan di hati Bapak. Terakhir, saya mengucapkan terima kasih atas perhatian Bapak. Saya bangga menjadi bagian dari masyarakat Yogya dan semoga Yogya menjadi kota yang "
gemah ripah loh jinawi".
Wassalamualaikum, wr. wb.